Senin, 06 Januari 2014

KARAWITAN SEBAGAI SUBYEK KAJIAN DISIPLIN SENI
Kajian Seni dan Kajian tentang Seni
          Kita mesti kenal dan mengamati berbagai dokumen resmi Negara terutama di bidang pendidikan menyebut IPTEKS sebagai singkatan dari ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni. Tetapi di lapangan kajian seni belum berkembang seperti kajian-kajian sahabatnya yang lain yaitu ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Banyak mahasiswa, mungkin juga para dosen ketika mengadakan kajian tentang seni sudah menganggapnya sebagai kajian seni. Apa yang sering dilakukan oleh berbagai pendidikan tinggi yang mengadakan kajian tentang seni belum sadar bahwa kajian tentang seni itu jauh berbeda dengan kajian seni.
          Kajian tentang seni - termasuk di dalamnya seni karawitan - itu walaupun masih sangat terbatas tetapi sudah cukup banyak dilakukan oleh berbagai perguruan tinggi, baik itu perguruan tinggi seni – STSI, ISI, IKJ, dan STKW – maupun perguruan tinggi umum – UGM, UNY, UPI, dan sebagainya. Seni dikaji dengan menggunakan konsep disiplin ilmu, misalnya didekati dengan menggunakan ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, etnomusikologi dan sebagainya. Pada saat itu seni diposisikan sebagai obyek penelitian. Pendekatan disiplin seni tidak demikian. Seni tidak ditempatkan sebagai obyek penelitian melainkan sebagai subyek penelitian. Demikianlah semestinya kalau kita benar-benar secara konsekwen mengartikan IPTEKS di atas. Dengan dapat dilihat perbedaannya antara studi karawitan pada perguruan tinggi seni dan perguruan tinggi umum. Sekarang apa bedanya antara pengkajian karawitan  yang ada di ISI dengan yang ada di UGM, juga dengan yang ada di UNY ? kan sama saja mestinya harus ada perbedaannya. Kalau di UGM itu berbentuk kajian tentang karawitan dengan pendekatan berbagai konsep ilmu pengetahuan, kalau di UNY itu mengkaji karawitan dengan pendekatan ilmu pendidikan, semestinya di ISI kajian karawitan itu dengan menggunakan pendekatan disiplin seni. Hal ini mestinya akan tercermin pada tugas akhir mahasiswa baik sebagai penyaji, pencipta, maupun pengkaji. Dalam tugas akhir itu mereka akan melaksanakan sajian seni karawitan, penciptaan seni karawitan, dan kajian seni karawitan bukan kajian tentang seni karawitan.
          Tetapi seperti telah disinggung di atas bahwa Disiplin Seni itu belum berkembang, konsep-konsep seni belum  publikasikan dengan baik, padahal sebenarnya ada cukup banyak.Disiplin seni sudah dilakukan berpuluh bahkan beratus tahun di negeri ini. Mungkinkah seorang Cakrawarsita membuat komposisi gending dan diakui kehebatannya di seluruh dunia tanpa menggunakan konsep,hanya kebetulan saja menjadi gending yang baik?,Demikian pula Nartosabdo,atau Martopengrawit bekerja tanpa konsep?.itu mustahil.Apakah mereka berkarya dengan menggunakan konsep filsafatnya Socrates atau Aristoteles?. Tentu tidak . Konsep-konsep yang dipakai tentu konsep-konsep yang digali dari budaya karawitan Jawa.
          Demikian pula gending-gending Jawa yang masih bertahan hidup sampai saat ini,apakah mereka disusun tanpa menggunakan konsep?,tentu tidak.Semuanya memakai konsep.Demikian pula sajian kesenian dari para empu kita baik dalam bentuk tabuhan atau beksan yang mengundang decak seluruh dunia itu tanpa konsep?.Semuanya tentu bukan awuran dan kebetulan tetapi karya-karya itu menggunakan konsep,dan bukan konsep yang diimpor dari Barat atau China atau India tetapi konsep yang digali di lahan kehidupan budaya Jawa itu sendiri,konsep-konsep itu adalah konsep dari disiplin seni,bukan konsep dari disiplin ilmu.
          Konsep-konsep itu dibangun dengan penelitian berpuluh bahkan beratus tahun lamanya tanpa jeda dan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.Tetapi memang berbeda dengan budaya Barat yang mempunyai tradisi tulis atau leterate tradition yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh para empu seni mereka dicatat dan kemudian dipublikasikan oleh para sarjana.Para empu kita tidak didampingi oleh para sarjan yang bertugas membuat kajian. Karena sarjana kita belum tumbuh saat itu,dan setelah tumbuh mereka tidak mempunyai bekal pengalaman seni tetapi dididik dengan disiplin ilmu sejak awal. Sehingga catatan-catatan tentang konsep seni secara fisik tidak ada. Catatan itu hanya ada di dalam sanubari masing-masing para empu dan ditularkan secara horizontal maupun vertikal secara lisan karen tradisi kita adalah tradisi lisan atau oral tradition. Hal seperti  itulah yang kini kita hadapi dan harus kita sikapi agar temuan para empu kita tidak hilang begitu saja  dengan cara menelusuri jejak karya empu-empu kita, kita catat dan kita sebarkan baik secara horizontal maupun vertikal,dan itulah pekerjaan pengkajian seni.
          Para empu kita berkarya tidak berdasarkan teori yang mereka bentuk dengan olah pikir tetapi konsep dan teori itu terbentuk setelah mereka mengalaminya sendiri serta niteni setiap apa yang mereka temui dalam pengalaman berkesenian hari lepas hari. Kalau dibahaskan yang mentereng disebut pengetahuan empirik yaitu berjuta data yang kemudian dikristalisasikan menjadi konsep berdasarkan pengetahuan empirik, atau lebih menterengnya lagi disebut empirical practices.Di dunia Barat penelitian yang teori dan konsepnya terbentuk ketika peneliti itu terjun di lapangan seperti apa yang dialami oleh para empu kita disebut gounded research. Jadi kalau begitu para empu kita menggunakan metode ground research?Jawabannya adalah “ya”Jadi para empu kita membeo metode Barat?Jawabannya “tidak”. Sebab ground research baru diumumkan tahun 60-an, sedangkan empu kita sudah menggunakan metode itu berpuluh bahkan beratus tahun yang lalu.
          Para empu kita berkarya tidak dari nol, tetapi sudah dibekali pengetahuan empirik para leluhurnya yang telah diwariskan secara lisan kepada mereka. Dari dasar itu mereka mencari dan terus mencari lewat berkarya,berkesenian hingga menemukan konsep-konsep baru. Konsep-konsep baru itu diuji  secara evolutif, dan setelah dimantapi oleh para seniman pada jamannya barulah diemplementasikan untuk memperbarui kesenian mereka. Sebagai contoh gender barung pada abad ke XVI berbilah sepuluh, kemudian berkembang menjadi sebelas ,duabelas , tigabelas, dan sekarang menjadi empatbelas bilah. Apa yang menyebabkan pertambahan bilah gender barung itu kalau tidak karena terbentuknya konsep-konsep baru dalam permainan gender barung. Di sini para empu memposisikan gender barung yang sepuluh bilah itu tidak sebagai obyek penelitian tetapi sebagai subyek. Dari gender barung yang sepuluh bilah terpancar berbagai kemungkinan yang terus dipelajari oleh para empu sampai muncul konsep permainan baru yang tidak cukup kalau hanya diwadahi dengan sepuluh bilah, maka berkembang menjadi sebelas, duabelas , tigabelas,dan kemudian empatbelas.
          Cara kerja para empu sangat teratur,diulang dan diulang bersumber pada subyek yang mereka tekuni sampai menemukan sesuatu yang baru dan diakui oleh komunikasnya. Cara kerja seperti itulah yang disebut disiplin seni. Sudah semestinya disiplin seni yang dilakukan selama beratus-ratus tahun itu klita teruskan. Karena kita itu sering silau, dan ketika ilmu pengetahuan yang datangnya dari Barat dianggap satu-satunya wahana untuk mengetahui sesuatu, maka kita silau dan dengan serta merta meninggalkan metoda disiplin seni itu dan menggunakan ilmu pengetahuan untuk menelajangi karya-karya kesenian kita, menurunkan derajad karya-karya agung warisan para leluhur dari posisi subyek menjadi obyek.
          Karena hanya sebagai obyek maka sudah semestinya ia tidak berkembang lagi. Gender barung yang empatbelas bilah itu ya tetap saja empatbelas saja,tidak menjadi limabelas atau sembilan,atau delapan dan seterusnya. Gamelan seperangkat ya tetap seperti itu, secara konsepsual tidak berkembang lagi ,paling-paling yang dikembangkan hanya fisiknya, saron barung dari dua pasang menjadi empat pasang dan seterusnya. Itulah sebabnya kualitas kehidupan seni kita terutama karawitan menjadi mandek bahkan mundur kandungan filosofinya . Sayangnya para intelektual seni kita sudah merasa bangga atas capaian-capaiannya di bidang kesenian walaupun itu baru dalam taraf studi tentang seni, kajian tentang seni,dan belum studi seni atau kajian seni.
          Ilmu pengetahuan yang datangnya dari Barat merupakan wahana yang luar biasa hebatnya untuk mengetahui apapun tetapi tidak dapat untuk merasakan sesuatu. Lewat kacamata ilmu ekonomi dapat diketahui bahwa korupsi itu dampaknya sangat jelek pada ekonomi masyarakat. Tetapi mengapa korupsi merajalela,terus apa fungsi ilmu ekonomi dalam masyarakat Indonesia terutama dalam hal pemberantasan korupsi ini? Tidak ada! Contoh yang lain,ilmu pengetahuan dapat mengetahui kandungan makanan apa saja yang dibutuhkan manusia untuk hidup sehat, tetapi ilmu pengetahuan tidak dapat mengubah orang lapar menjadi kenyang. Kalau ingin kenyang ya harus makan, tidak mempelajari ilmu gisi. Apa yang sebaiknya dimakan itulah kita dapat mengikuti hasil kerja ilmu pengetahuan.
          Jadi sebenarnya disiplin seni itu sudah berjalan di dalam budaya kita tetapi masih terbatas untuk penyajian dan penciptaan saja. Untuk menyajikan dan menciptakan kita tidak perlu memeras kemampuan otak kiri, cukup dengan perasaan yang dikendalikan oleh otak kanan, ditambah dengan pelatihan terus menerus sampai dapat melaksanakan kehendak rasa itu dengan sempurna. Kalau penyaji kesempurnaan itu disebut vertuositas. Kalau untuk pencipta tidak ada istilahnya tetapi dapat dilihat gejalanya yaitu ciptaannya selalu enak dirasakan  dan enak dilaksanakan.
          Disiplin seni bidang pengkajian belum berkembang.Seni termasuk karawitan belum banyak dikaji secara tekstual,baru secara kontekstual dengan menggunakan disiplin ilmu. Topik-topiknya misalnya: “Mengapa honor pesinden lebih tinggi daripada honor pengrawit”, “ Mengapa Gambirsawit lebih tenar daripada gending kethuk loro lainnya”, “Gadhung Mlathi sebagai gending keramat di dalam budaya Jawa” dan sebagainya. Itu semua adalah kajian kontekstual, walaupun menggunakan pendekatan etik sekaligus, itu semua adalah kajian tentang karawitan bukan kajian karawitan. Kajian yang demikian sifatnya bukannya tidak penting, itu penting sekali untuk lebih dalam mengetahui pernik-pernik tentang seni karawitan. Tetapi kalau kajian seni karawitan hanya secara kontekstual saja itu belum lengkap dan tidak akan terbangun apa yang disebut karawitanologi atau musikologi karawitan seperti apa yang dicita-citakan komunikas karawitan.
          Saya dan mungkin beberapa anggota komunitas karawitan lainnya berusaha mengembangkan pendekatan dengan disiplin seni ini,mengembangkan kajian tekstual dalam bidang karawitan walaupun belum sempurna seperti misalnya dalam mengkaji pathet atau embat karawitan Jawa. Sekarang sedang  saya kembangkan pengkajian sistem pelarasan gamelan Jawa dan juga sistem pelarasan gamelan Bali. Dalam hal ini pelarasan diposisikan sebagai subyek, kita melihat dari berbagai sisi, maka pelarasan itu akan berbicara kepada kita lewat empirical practicesnya atau pengalaman empiriknya para pelaras. Tugas kita selanjutnya menguji data-data yang terpancar dari pelarasan gamelan Bali. Konsep itu sebenarnya sudah ada tetapi belum terungkap secara sistematis.
Peristilahan dalam Disiplin Seni
          Pengaruh disiplin ilmu memang luar biasa merasuk dalam sanubari kita. Karena sejak usia dini sekolah kita melatih untuk menguasai disiplin ilmu. Sehingga seperti kungfu, kalau kita menghadapi sesuatu maka jurus-jurus disiplin ilmiah yang keluar. Kalau jurus-jurus itu masih membaik, sampai peristilahan saja kita membeo dan merasa bangga bila menggunakan istilah barat sumbernya disiplin ilmu dan merasa salah kalau tidak menggunakan jurus-jurus disiplin ilmu. Karena substansi disiplin ilmunya kurang maka sering konsep-konsep itu hanya menempel atau terpajang saja di dalam berbagai tulisan namun tidak digunakan. Sikap seperti inilah yang menyebabkan banyak istilah karawitan yang di dalamnya terkandung makna filosofis tergeser karena dianggap kuno atau njamani.

1.      Antara Tangga Nada dan Pelarasan
          Sering kita menggunakan terminologi tangga nada untuk menyebut pelarasan dalam  karawitan. Hal itu terjadi karena dua kemungkinan. Pertama, mungkin karena kita dikepung oleh disiplin ilmu dalam hal ini adalah musikologi barat, sehingga jurus musikologi itu yang keluar ketika kita dihadapkan dengan masalah pelarasan, Kedua. Kita merasa lebih bangga kalau menggunakan barang impor.
          Tangga nada adalah terjemahan langsung dari frasa tone scale.Istilah ini muncul bersamaan dengan kebijakan equal temperament pada abad ke XVII dalam musikologi barat yang mengatur jarak nada kromatik dari nada satu ke nada berikutnya baik naik maupun turun sama rata 100 sen (cent) atau semi tone interval . Kalau kita mengambilnya sebagai pengganti kata laras seperti misalnya tangga nada Slendro atau tangga nada Pelog itu jelas saalah karena jarak nada satu dengan yang lainnya dalam laras Slendro dan Pelog tidak rata 100 sen. Laras Slendro yang secara awam sering dikatakan mempunyai jarak nada sama itu sebenernya tidak sama itu sebenarnya tidak sama tergantung embatnya. Berikut ini salah satu contoh jarak nada Laras Slendro, gamelan lain mungkin berbeda lagi tetapi masih dalam batas toleransi rasa Slendro.
Gembyang
IV
V
VI
VII
Nada
Nm
Pn
gl
dd
lm
Nm
Pn
gl
dd
lm
nm
Pn
Frekuensi
481
551
633
727
835
964
1104
1268
1456
1675
1934
2210
Jangkah N
235
240
237
240
252
234
242
236
240
249
231


Tabel-1 salah satu struktur frekuensi dan jarak nada-nada
Saron barung dan saron penerus Slendro(Hastanto,2012:45)

Demung (Gembyang ke –IV)
Nada
pn
Gl
dd
Pl
Lm
Nm
br
Frekuensi(Hz)
285
325
342
418
444
482
524
Jangkah (sen)
227
88
347
104
142
145


                Tabel -2.Salah satu struktur frekuensi  dan  jarak nada-nada demung Pelog (Hastanto,2012:50)


Keterangan : Nama-nama nada dalam karawitan Jawa
Nm=nem ;  pn=penunggal ;  gl= gulu ; dd= dhadha ; lm=lima ; pl = pelog


                Pada baris terakhir kedua skema itu terlihat jarak nada itu tidak rata dan tidak 100 sen, jadi salahlah kalau deretan nada itu disebut tangga nada. Musikologi barat mengatur interval 100 sen (semi lone) dan 200 sen (tone) untuk kepraktisan dalam mengembangkan kehidupan musiknya, dan berkat kebijaksanaan ini musik barat lebih mudah untuk berkembang. Pengukuran jaraknya menjadi sangat mekanik maka tidak disebut laras. Kalau kita dmenebut  laras dengan terminologi tangga nada kecuali salah juga menghilangkan kandungan filosofi kata laras yang berarti tepat. Sesuai, jumbuh , suasana yang tentram, menyenangkan dan tidak sekedar barang fisik.



2.      Antara Interval dan Jangkah
Jarak  antara nada satu dengan lainnya di dalam musikologi barat disebut interval. Memang kata interval berarti jarak atau jeda jadi sebenarnya tidak ada salahnya kalau juga kita gunakan untuk menyebut jarak nada di dalam laras Slendro maupun Pelog. Tetapi kata interval telah mengandung konotasi yang berhubungan kuat dengan konsep harmoni musik barat. Dalam musik barat kata interval selalu berhubungan dengan tone (200 cents), semi tone(100 cents), third(400 cents),fifth (700 cents), octave (1200 cents), ougmented (diperpanjang 100 sen), dimines (diperpendek 100 sen),dan sebagainya yang merupakan komponen konsep harmoni, sedangkan di dalam laras Slendro dan Pelog tidak demikian.
            Bila kita mengacu pada Tabel-1 dan 2 di atas maka terlihat dengan jelas bahwa struktur jarak nada kita berbeda sama sekali. Para pelaras gamelan Jawa mengatakannya dengan istilah godhangan (Pradjapangrawit, 1990:9-11). Interval dan jangkah atau godhangan adalah istilah teknis dalam sebuah disiplin maka sebaiknya tidak dirancukan.Saya menyarankan untuk jarak nada di dalam karawitan Jawa menggunakan istilah jangkah atau godhangan sehingga tidak mempunyai konotasi harmoni musik barat.
3.      Oktaf dan Gembyang
Istilah oktaf juga sering digunakan oleh para guru karawitan yang tidak menyadari bahwa istilah itu tidak tepat dan bagi mereka yang terlatih di dalam musik barat akan tersenyum. Hal itu karena yang disebut oleh guru tersebut dengan istilah oktaf ternyata buka oktaf seperti pengertian pada musik barat. Oktaf berasal dari kata octavo yang berarti kedelapan. Jadi sebenarnya konsisten dengan interval-interval yang lain misalnya third berarti nada ketiga,fifth berarti naada kelima, dan mestinya eigthth nada kedelapan. Tetapi karena untuk menghormati asal muasal konsep itu maka masyarakat musik barat lebih merasa sreg menggunakan kata asing octave-oktaf.
                                1              2              3  4            5           6              7              8
            C          D          E   F        G       A          B          C
            200      200     100 200     200           200      100
   ------------ Octave-oktaf –kedelapan-1200 sen--------------
            Jadi jelas bahwa oktaf adalah jarak suatu nada dengan nada siklus berikutnya sejauh delapan nada dengan jarak yang sudah dibakukan 1200 sen. Komunitas karawitan mempunyai istilah teknis gembyang yaitu jarak suatu nada dengan nada siklus berikutnya tetapi tidak sejauh delapan nada melainkan enam nada saja dan jaraknya tidak dipatok 1200 sen, tetapi diukur dengan ukuran rasa kepenak (appropriate) sehingga pengertiannya tidak sama dengan oktaf. Kalau secara skematis sebagai berikut.
                        Istilah oktaf yang sering dipakai beberapa guru karawitan untuk menyebut jarak sebuah nada ke nada siklus berikutnya itu dengan pasti tidak benar dan mengandung beberapa resiko, di antaranya adalah: (a) Memberi informasi yang tidak benar ; (b) Mempunyai andil untuk melupakan warisan budaya karawitan; (c) Membiasakan siswa untuk tidak dapat membedakan perbedaan mendasar antara karawitan dan musik barat dan seterusnya.
                        Mengenai jangkah  di dalam karawitan masih banyak macamnya dan tidak dibakukan ukuran sen-nya, misalnya kempyang tidak sama dengan quint, jaraknya tidak harus 720 sen tetapi menurut rasa budaya setempat yang dianggap enak (appropriate) demikian juga salanggumun dan siliran atau silih asih .
      [         gembyang               ]   [  salang gumun ]
                       
Nada
nm
pn
gl
Dd
lm
nm
pn
gl
dd
lm
Nm
pn
gl
Dd
Jangkah N
235
240
237
240
252
234
242
236
240
249
231
                                                                  kempyung              
                        Contoh  tabel  yang tertera pada tabel diatas diambil dari Gamelan Ageng Kabupaten Karanganyar, pada gamelan lain jangkah-jangkah itu akan berbeda, tetapi mereka juga dirasakan enak menurut budaya karawitan. Dari tujuh gamelan terkemuka di eks Karesidenan Surakarta yang pernah diteliti tahun 2011 tercatat semua jangkah-jangkah itu berbeda, tetapi semua dinyatakan enak oleh rasa budaya karawitan Jawa.Sesuatu yang perlu dicatat adalah bahwasannya tidak ada satu jangkah gembyangan pun yang dilaras pleng,semuanya ‘digoyang’ ke atas. Penjelasan dari para empu pelaras gamelan,bila dilaras pleng maka gamelan itu tidak ada ngengnya. Bayangkan kalau kita gunakan istilah yang salah seperti oktaf dan quint maka pernik-pernik kekayaan budaya seperti tertera di atas akan kurang neresap pada para pewaris budaya karawitan.
                        Demikian beberapa hal yang semestinya tidak dinavikan di dalam Tugas Akhir mahasiswa karawitan. Untuk format tulisan Tugas Akhir kiranya lebih bijaksana diserahkan kepada institusi yang memayunginya. Terima kasih


(posting by karnadi)


                        Sumber :
Pradjapengrawit
1990    Wedha Pradangga.Sri Hastanto (ed.),Surakarta : STSI Surakarta dan The Ford Foundation,1990
Sri Hastanto
2009    Konsep Pathet dalam Karawitan Jawa. Surakarta:ISI Press dan Pascasarjana ISI Surakarta,2009.
2010    “Konsep Embat dalam Karawitan Jawa “Laporan Penelitian Hibah Kompetisi B-Seni,Departemen Pendidikan Nasional.
2012    Ngeng dan Reng: Persandingan Pelarasan Gamelan Agengb Jawa dan Gong Keyar Bali.Surakarta :ISI Press.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar