KARAWITAN SEBAGAI
SUBYEK KAJIAN DISIPLIN SENI
Kajian Seni dan Kajian tentang Seni
Kita mesti kenal dan mengamati berbagai
dokumen resmi Negara terutama di bidang pendidikan menyebut IPTEKS sebagai
singkatan dari ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni. Tetapi di lapangan kajian
seni belum berkembang seperti kajian-kajian sahabatnya yang lain yaitu ilmu
Pengetahuan dan Teknologi. Banyak mahasiswa, mungkin juga para dosen ketika
mengadakan kajian tentang seni sudah menganggapnya sebagai kajian seni. Apa
yang sering dilakukan oleh berbagai pendidikan tinggi yang mengadakan kajian
tentang seni belum sadar bahwa kajian
tentang seni itu jauh berbeda dengan kajian seni.
Kajian tentang
seni - termasuk di dalamnya seni karawitan - itu walaupun masih sangat terbatas
tetapi sudah cukup banyak dilakukan oleh berbagai perguruan tinggi, baik itu
perguruan tinggi seni – STSI, ISI, IKJ, dan STKW – maupun perguruan tinggi umum
– UGM, UNY, UPI, dan sebagainya. Seni dikaji dengan menggunakan konsep disiplin
ilmu, misalnya didekati dengan menggunakan ilmu sejarah, sosiologi,
antropologi, etnomusikologi dan sebagainya. Pada saat itu seni diposisikan
sebagai obyek penelitian. Pendekatan disiplin seni tidak demikian. Seni tidak
ditempatkan sebagai obyek penelitian melainkan sebagai subyek penelitian.
Demikianlah semestinya kalau kita benar-benar secara konsekwen mengartikan
IPTEKS di atas. Dengan dapat dilihat perbedaannya antara studi karawitan pada
perguruan tinggi seni dan perguruan tinggi umum. Sekarang apa bedanya antara
pengkajian karawitan yang ada di ISI
dengan yang ada di UGM, juga dengan yang ada di UNY ? kan sama saja mestinya
harus ada perbedaannya. Kalau di UGM itu berbentuk kajian tentang karawitan
dengan pendekatan berbagai konsep ilmu pengetahuan, kalau di UNY itu mengkaji
karawitan dengan pendekatan ilmu pendidikan, semestinya di ISI kajian karawitan
itu dengan menggunakan pendekatan disiplin seni. Hal ini mestinya akan
tercermin pada tugas akhir mahasiswa baik sebagai penyaji, pencipta, maupun
pengkaji. Dalam tugas akhir itu mereka
akan melaksanakan sajian seni karawitan, penciptaan seni karawitan, dan kajian
seni karawitan bukan kajian tentang seni karawitan.
Tetapi seperti telah disinggung di
atas bahwa Disiplin Seni itu belum berkembang, konsep-konsep seni belum publikasikan dengan baik, padahal sebenarnya
ada cukup banyak.Disiplin seni sudah dilakukan berpuluh bahkan beratus tahun di
negeri ini. Mungkinkah seorang Cakrawarsita membuat komposisi gending dan
diakui kehebatannya di seluruh dunia tanpa menggunakan konsep,hanya kebetulan
saja menjadi gending yang baik?,Demikian pula Nartosabdo,atau Martopengrawit
bekerja tanpa konsep?.itu mustahil.Apakah mereka berkarya dengan menggunakan
konsep filsafatnya Socrates atau Aristoteles?. Tentu tidak . Konsep-konsep yang
dipakai tentu konsep-konsep yang digali dari budaya karawitan Jawa.
Demikian pula
gending-gending Jawa yang masih bertahan hidup sampai saat ini,apakah mereka
disusun tanpa menggunakan konsep?,tentu tidak.Semuanya memakai konsep.Demikian
pula sajian kesenian dari para empu kita baik dalam bentuk tabuhan atau beksan
yang mengundang decak seluruh dunia itu tanpa konsep?.Semuanya tentu bukan
awuran dan kebetulan tetapi karya-karya itu menggunakan konsep,dan bukan konsep
yang diimpor dari Barat atau China atau India tetapi konsep yang digali di
lahan kehidupan budaya Jawa itu sendiri,konsep-konsep itu adalah konsep dari
disiplin seni,bukan konsep dari disiplin ilmu.
Konsep-konsep
itu dibangun dengan penelitian berpuluh bahkan beratus tahun lamanya tanpa jeda
dan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.Tetapi memang berbeda
dengan budaya Barat yang mempunyai tradisi tulis atau leterate tradition yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh para
empu seni mereka dicatat dan kemudian dipublikasikan oleh para sarjana.Para
empu kita tidak didampingi oleh para sarjan yang bertugas membuat kajian.
Karena sarjana kita belum tumbuh saat itu,dan setelah tumbuh mereka tidak
mempunyai bekal pengalaman seni tetapi dididik dengan disiplin ilmu sejak awal.
Sehingga catatan-catatan tentang konsep seni secara fisik tidak ada. Catatan
itu hanya ada di dalam sanubari masing-masing para empu dan ditularkan secara
horizontal maupun vertikal secara lisan karen tradisi kita adalah tradisi lisan
atau oral tradition. Hal seperti itulah yang kini kita hadapi dan harus kita
sikapi agar temuan para empu kita tidak hilang begitu saja dengan cara menelusuri jejak karya empu-empu
kita, kita catat dan kita sebarkan baik secara horizontal maupun vertikal,dan
itulah pekerjaan pengkajian seni.
Para empu kita
berkarya tidak berdasarkan teori yang mereka bentuk dengan olah pikir tetapi
konsep dan teori itu terbentuk setelah mereka mengalaminya sendiri serta niteni setiap apa yang mereka temui
dalam pengalaman berkesenian hari lepas hari. Kalau dibahaskan yang mentereng
disebut pengetahuan empirik yaitu berjuta data yang kemudian dikristalisasikan
menjadi konsep berdasarkan pengetahuan empirik, atau lebih menterengnya lagi
disebut empirical practices.Di dunia
Barat penelitian yang teori dan konsepnya terbentuk ketika peneliti itu terjun
di lapangan seperti apa yang dialami oleh para empu kita disebut gounded research. Jadi kalau begitu para
empu kita menggunakan metode ground
research?Jawabannya adalah “ya”Jadi para empu kita membeo metode
Barat?Jawabannya “tidak”. Sebab ground
research baru diumumkan tahun 60-an, sedangkan empu kita sudah menggunakan
metode itu berpuluh bahkan beratus tahun yang lalu.
Para empu kita
berkarya tidak dari nol, tetapi sudah dibekali pengetahuan empirik para
leluhurnya yang telah diwariskan secara lisan kepada mereka. Dari dasar itu
mereka mencari dan terus mencari lewat berkarya,berkesenian hingga menemukan
konsep-konsep baru. Konsep-konsep baru itu diuji secara evolutif, dan setelah dimantapi oleh
para seniman pada jamannya barulah diemplementasikan untuk memperbarui kesenian
mereka. Sebagai contoh gender barung
pada abad ke XVI berbilah sepuluh, kemudian berkembang menjadi sebelas
,duabelas , tigabelas, dan sekarang menjadi empatbelas bilah. Apa yang
menyebabkan pertambahan bilah gender
barung itu kalau tidak karena terbentuknya konsep-konsep baru dalam
permainan gender barung. Di sini para
empu memposisikan gender barung yang
sepuluh bilah itu tidak sebagai obyek penelitian tetapi sebagai subyek. Dari gender barung yang sepuluh bilah
terpancar berbagai kemungkinan yang terus dipelajari oleh para empu sampai
muncul konsep permainan baru yang tidak cukup kalau hanya diwadahi dengan
sepuluh bilah, maka berkembang menjadi sebelas, duabelas , tigabelas,dan
kemudian empatbelas.
Cara kerja para empu sangat
teratur,diulang dan diulang bersumber pada subyek yang mereka tekuni sampai
menemukan sesuatu yang baru dan diakui oleh komunikasnya. Cara kerja seperti
itulah yang disebut disiplin seni. Sudah semestinya disiplin seni yang
dilakukan selama beratus-ratus tahun itu klita teruskan. Karena kita itu sering
silau, dan ketika ilmu pengetahuan yang datangnya dari Barat dianggap
satu-satunya wahana untuk mengetahui sesuatu, maka kita silau dan dengan serta
merta meninggalkan metoda disiplin seni itu dan menggunakan ilmu pengetahuan
untuk menelajangi karya-karya kesenian kita, menurunkan derajad karya-karya
agung warisan para leluhur dari posisi subyek menjadi obyek.
Karena hanya
sebagai obyek maka sudah semestinya ia tidak berkembang lagi. Gender barung yang empatbelas bilah itu
ya tetap saja empatbelas saja,tidak menjadi limabelas atau sembilan,atau
delapan dan seterusnya. Gamelan seperangkat ya tetap seperti itu, secara
konsepsual tidak berkembang lagi ,paling-paling yang dikembangkan hanya
fisiknya, saron barung dari dua pasang menjadi empat pasang dan seterusnya.
Itulah sebabnya kualitas kehidupan seni kita terutama karawitan menjadi mandek
bahkan mundur kandungan filosofinya . Sayangnya para intelektual seni kita
sudah merasa bangga atas capaian-capaiannya di bidang kesenian walaupun itu
baru dalam taraf studi tentang seni, kajian tentang seni,dan belum studi seni
atau kajian seni.
Ilmu
pengetahuan yang datangnya dari Barat merupakan wahana yang luar biasa hebatnya
untuk mengetahui apapun tetapi tidak dapat untuk merasakan sesuatu. Lewat
kacamata ilmu ekonomi dapat diketahui bahwa korupsi itu dampaknya sangat jelek
pada ekonomi masyarakat. Tetapi mengapa korupsi merajalela,terus apa fungsi
ilmu ekonomi dalam masyarakat Indonesia terutama dalam hal pemberantasan
korupsi ini? Tidak ada! Contoh yang lain,ilmu pengetahuan dapat mengetahui
kandungan makanan apa saja yang dibutuhkan manusia untuk hidup sehat, tetapi
ilmu pengetahuan tidak dapat mengubah orang lapar menjadi kenyang. Kalau ingin
kenyang ya harus makan, tidak mempelajari ilmu gisi. Apa yang sebaiknya dimakan
itulah kita dapat mengikuti hasil kerja ilmu pengetahuan.
Jadi
sebenarnya disiplin seni itu sudah berjalan di dalam budaya kita tetapi masih
terbatas untuk penyajian dan penciptaan saja. Untuk menyajikan dan menciptakan
kita tidak perlu memeras kemampuan otak kiri, cukup dengan perasaan yang
dikendalikan oleh otak kanan, ditambah dengan pelatihan terus menerus sampai
dapat melaksanakan kehendak rasa itu dengan sempurna. Kalau penyaji
kesempurnaan itu disebut vertuositas.
Kalau untuk pencipta tidak ada istilahnya tetapi dapat dilihat gejalanya yaitu
ciptaannya selalu enak dirasakan dan
enak dilaksanakan.
Disiplin seni
bidang pengkajian belum
berkembang.Seni termasuk karawitan belum banyak dikaji secara tekstual,baru
secara kontekstual dengan menggunakan disiplin ilmu. Topik-topiknya misalnya:
“Mengapa honor pesinden lebih tinggi daripada honor pengrawit”, “ Mengapa
Gambirsawit lebih tenar daripada gending kethuk loro lainnya”, “Gadhung Mlathi
sebagai gending keramat di dalam budaya Jawa” dan sebagainya. Itu semua adalah
kajian kontekstual, walaupun menggunakan pendekatan etik sekaligus, itu semua
adalah kajian tentang karawitan bukan kajian karawitan. Kajian yang demikian
sifatnya bukannya tidak penting, itu penting sekali untuk lebih dalam mengetahui
pernik-pernik tentang seni karawitan. Tetapi kalau kajian seni karawitan hanya
secara kontekstual saja itu belum lengkap dan tidak akan terbangun apa yang
disebut karawitanologi atau musikologi
karawitan seperti apa yang dicita-citakan komunikas karawitan.
Saya dan
mungkin beberapa anggota komunitas karawitan lainnya berusaha mengembangkan
pendekatan dengan disiplin seni ini,mengembangkan kajian tekstual dalam bidang
karawitan walaupun belum sempurna seperti misalnya dalam mengkaji pathet atau
embat karawitan Jawa. Sekarang sedang
saya kembangkan pengkajian sistem pelarasan gamelan Jawa dan juga sistem
pelarasan gamelan Bali. Dalam hal ini pelarasan diposisikan sebagai subyek,
kita melihat dari berbagai sisi, maka pelarasan itu akan berbicara kepada kita
lewat empirical practicesnya atau
pengalaman empiriknya para pelaras. Tugas kita selanjutnya menguji data-data
yang terpancar dari pelarasan gamelan Bali. Konsep itu sebenarnya sudah ada
tetapi belum terungkap secara sistematis.
Peristilahan dalam Disiplin Seni
Pengaruh disiplin ilmu memang luar
biasa merasuk dalam sanubari kita. Karena sejak usia dini sekolah kita melatih
untuk menguasai disiplin ilmu. Sehingga seperti kungfu, kalau kita menghadapi
sesuatu maka jurus-jurus disiplin ilmiah yang keluar. Kalau jurus-jurus itu
masih membaik, sampai peristilahan saja kita membeo dan merasa bangga bila
menggunakan istilah barat sumbernya disiplin ilmu dan merasa salah kalau tidak
menggunakan jurus-jurus disiplin ilmu. Karena substansi disiplin ilmunya kurang
maka sering konsep-konsep itu hanya menempel atau terpajang saja di dalam
berbagai tulisan namun tidak digunakan. Sikap seperti inilah yang menyebabkan
banyak istilah karawitan yang di dalamnya terkandung makna filosofis tergeser
karena dianggap kuno atau njamani.
1. Antara Tangga Nada dan Pelarasan
Sering kita
menggunakan terminologi tangga nada untuk menyebut pelarasan dalam karawitan. Hal itu terjadi karena dua
kemungkinan. Pertama, mungkin karena kita dikepung oleh disiplin ilmu dalam hal
ini adalah musikologi barat, sehingga jurus musikologi itu yang keluar ketika
kita dihadapkan dengan masalah pelarasan, Kedua. Kita merasa lebih bangga kalau
menggunakan barang impor.
Tangga nada
adalah terjemahan langsung dari frasa tone
scale.Istilah ini muncul bersamaan dengan kebijakan equal temperament pada abad ke XVII dalam musikologi barat yang
mengatur jarak nada kromatik dari nada satu ke nada berikutnya baik naik maupun
turun sama rata 100 sen (cent) atau semi tone interval . Kalau kita
mengambilnya sebagai pengganti kata laras seperti misalnya tangga nada Slendro
atau tangga nada Pelog itu jelas saalah karena jarak nada satu dengan yang
lainnya dalam laras Slendro dan Pelog tidak rata 100 sen. Laras Slendro yang
secara awam sering dikatakan mempunyai jarak nada sama itu sebenernya tidak
sama itu sebenarnya tidak sama tergantung embatnya. Berikut ini salah satu
contoh jarak nada Laras Slendro, gamelan lain mungkin berbeda lagi tetapi masih
dalam batas toleransi rasa Slendro.
Gembyang
|
IV
|
V
|
VI
|
VII
|
||||||||||||||||||
Nada
|
Nm
|
Pn
|
gl
|
dd
|
lm
|
Nm
|
Pn
|
gl
|
dd
|
lm
|
nm
|
Pn
|
||||||||||
Frekuensi
|
481
|
551
|
633
|
727
|
835
|
964
|
1104
|
1268
|
1456
|
1675
|
1934
|
2210
|
||||||||||
Jangkah
N
|
235
|
240
|
237
|
240
|
252
|
234
|
242
|
236
|
240
|
249
|
231
|
|||||||||||
Tabel-1 salah satu struktur frekuensi
dan jarak nada-nada
Saron barung dan
saron penerus Slendro(Hastanto,2012:45)
Demung (Gembyang ke –IV)
|
||||||||||||||
Nada
|
pn
|
Gl
|
dd
|
Pl
|
Lm
|
Nm
|
br
|
|||||||
Frekuensi(Hz)
|
285
|
325
|
342
|
418
|
444
|
482
|
524
|
|||||||
Jangkah (sen)
|
227
|
88
|
347
|
104
|
142
|
145
|
||||||||
Tabel -2.Salah satu struktur
frekuensi dan jarak nada-nada demung Pelog
(Hastanto,2012:50)
Keterangan : Nama-nama
nada dalam karawitan Jawa
Nm=nem ; pn=penunggal ; gl= gulu ; dd= dhadha ; lm=lima ; pl = pelog
Pada baris terakhir kedua skema itu
terlihat jarak nada itu tidak rata dan tidak 100 sen, jadi salahlah kalau
deretan nada itu disebut tangga nada. Musikologi barat mengatur interval 100
sen (semi lone) dan 200 sen (tone) untuk kepraktisan dalam
mengembangkan kehidupan musiknya, dan berkat kebijaksanaan ini musik barat
lebih mudah untuk berkembang. Pengukuran jaraknya menjadi sangat mekanik maka
tidak disebut laras. Kalau kita dmenebut
laras dengan terminologi tangga nada kecuali salah juga menghilangkan
kandungan filosofi kata laras yang berarti tepat. Sesuai, jumbuh , suasana yang tentram, menyenangkan dan tidak sekedar
barang fisik.
2. Antara Interval dan Jangkah
Jarak antara nada satu dengan lainnya di dalam
musikologi barat disebut interval. Memang kata interval berarti jarak atau jeda
jadi sebenarnya tidak ada salahnya kalau juga kita gunakan untuk menyebut jarak
nada di dalam laras Slendro maupun Pelog. Tetapi kata interval telah mengandung
konotasi yang berhubungan kuat dengan konsep harmoni musik barat. Dalam musik
barat kata interval selalu berhubungan dengan tone (200 cents), semi tone(100 cents), third(400 cents),fifth (700 cents), octave (1200 cents),
ougmented (diperpanjang 100 sen), dimines (diperpendek 100 sen),dan
sebagainya yang merupakan komponen konsep harmoni, sedangkan di dalam laras
Slendro dan Pelog tidak demikian.
Bila kita mengacu pada Tabel-1 dan 2
di atas maka terlihat dengan jelas bahwa struktur jarak nada kita berbeda sama
sekali. Para pelaras gamelan Jawa mengatakannya dengan istilah godhangan (Pradjapangrawit, 1990:9-11).
Interval dan jangkah atau godhangan adalah istilah teknis dalam
sebuah disiplin maka sebaiknya tidak dirancukan.Saya menyarankan untuk jarak
nada di dalam karawitan Jawa menggunakan istilah jangkah atau godhangan
sehingga tidak mempunyai konotasi harmoni musik barat.
3. Oktaf dan Gembyang
Istilah
oktaf juga sering digunakan oleh para guru karawitan yang tidak menyadari bahwa
istilah itu tidak tepat dan bagi mereka yang terlatih di dalam musik barat akan
tersenyum. Hal itu karena yang disebut oleh guru tersebut dengan istilah oktaf
ternyata buka oktaf seperti pengertian pada musik barat. Oktaf berasal dari
kata octavo yang berarti kedelapan.
Jadi sebenarnya konsisten dengan interval-interval yang lain misalnya third berarti nada ketiga,fifth berarti naada kelima, dan mestinya
eigthth nada kedelapan. Tetapi karena
untuk menghormati asal muasal konsep itu maka masyarakat musik barat lebih
merasa sreg menggunakan kata asing octave-oktaf.
1 2 3 4 5 6 7 8
C D E F G A B C
Jadi jelas
bahwa oktaf adalah jarak suatu nada dengan nada siklus berikutnya sejauh
delapan nada dengan jarak yang sudah dibakukan 1200 sen. Komunitas karawitan
mempunyai istilah teknis gembyang
yaitu jarak suatu nada dengan nada siklus berikutnya tetapi tidak sejauh
delapan nada melainkan enam nada saja dan jaraknya tidak dipatok 1200 sen,
tetapi diukur dengan ukuran rasa kepenak (appropriate)
sehingga pengertiannya tidak sama dengan oktaf. Kalau secara skematis
sebagai berikut.
Istilah
oktaf yang sering dipakai beberapa guru karawitan untuk menyebut jarak sebuah
nada ke nada siklus berikutnya itu dengan pasti tidak benar dan mengandung
beberapa resiko, di antaranya adalah: (a) Memberi informasi yang tidak benar ;
(b) Mempunyai andil untuk melupakan warisan budaya karawitan; (c) Membiasakan
siswa untuk tidak dapat membedakan perbedaan mendasar antara karawitan dan
musik barat dan seterusnya.
Mengenai
jangkah di dalam karawitan masih banyak macamnya dan
tidak dibakukan ukuran sen-nya, misalnya kempyang
tidak sama dengan quint, jaraknya
tidak harus 720 sen tetapi menurut rasa budaya setempat yang dianggap enak (appropriate) demikian juga salanggumun dan siliran atau silih asih .
Nada
|
nm
|
pn
|
gl
|
Dd
|
lm
|
nm
|
pn
|
gl
|
dd
|
lm
|
Nm
|
pn
|
gl
|
Dd
|
||||||
Jangkah N
|
235
|
240
|
237
|
240
|
252
|
234
|
242
|
236
|
240
|
249
|
231
|
|||||||||
Contoh tabel
yang tertera pada tabel diatas diambil dari Gamelan Ageng Kabupaten Karanganyar,
pada gamelan lain jangkah-jangkah itu
akan berbeda, tetapi mereka juga dirasakan enak menurut budaya karawitan. Dari
tujuh gamelan terkemuka di eks Karesidenan Surakarta yang pernah diteliti tahun
2011 tercatat semua jangkah-jangkah itu
berbeda, tetapi semua dinyatakan enak oleh rasa budaya karawitan Jawa.Sesuatu
yang perlu dicatat adalah bahwasannya tidak ada satu jangkah gembyangan pun yang dilaras pleng,semuanya ‘digoyang’ ke atas. Penjelasan dari para empu
pelaras gamelan,bila dilaras pleng
maka gamelan itu tidak ada ngengnya.
Bayangkan kalau kita gunakan istilah yang salah seperti oktaf dan quint maka
pernik-pernik kekayaan budaya seperti tertera di atas akan kurang neresap pada
para pewaris budaya karawitan.
Demikian
beberapa hal yang semestinya tidak dinavikan di dalam Tugas Akhir mahasiswa
karawitan. Untuk format tulisan Tugas Akhir kiranya lebih bijaksana diserahkan
kepada institusi yang memayunginya. Terima kasih
(posting by karnadi)
Sumber :
Pradjapengrawit
1990 Wedha Pradangga.Sri Hastanto
(ed.),Surakarta : STSI Surakarta dan The Ford Foundation,1990
Sri Hastanto
2009 Konsep Pathet dalam Karawitan Jawa.
Surakarta:ISI Press dan Pascasarjana ISI Surakarta,2009.
2010 “Konsep Embat dalam Karawitan Jawa “Laporan
Penelitian Hibah Kompetisi B-Seni,Departemen Pendidikan Nasional.
2012 Ngeng dan Reng: Persandingan Pelarasan
Gamelan Agengb Jawa dan Gong Keyar Bali.Surakarta :ISI Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar