KARAWITAN VOKAL MANGKUNAGORO IV
I. Seperti
kaum bangsawan pada umumnya kerabat Mangkunegaranpun dialiri darah seni
terutama seni yang tumbuh dalam budayanya. Dalam hal kerabat Mangkunegaran ini
adalah budaya Jawa. Sejak Raden Mas Sahid (Mangkunagoro yang pertama) aliran
darah seni ini sudah jelas terlihat. Hal ini terbukti dalam tindakan Raden Mas
Sahid yang walaupun dalam situasi peperangan selalu memperhatikan kesenian.
Bahkan kesenian dijadikan sarana terapi para tentaranya agar pulih kembali
kekuatannya setelah melakukan sebuah penyarbuan.
Pasanggrahane kang putra,
Anguyu-uyu pribadi,
Salendro denira bekta,
Ngenira damel pribadi,
Wastanan Udan Riris,
Mung sepeken laminipun,
Nguyu-uyu gamelan,
Wau Pangran Mangkubumi,
Sabtu enjing pepakan kang wadya bala. (Serat Babad
Mangkunagoro I: 134).
Tembang
yang tercantum dalam pupuh Sinom bait ke 17 Babad Mangkunagoro I ini
menggambarkan betapa Raden Mas Sahid masih sempat juga klenengan (uyon-uyon) dengan menabuh Gamelan Kiai Udan Riris di
pasanggrahannya dalam masa peperangan melawan Kompeni Belanda. Waktu itu sang
paman Pangeran Mangkubumi datang dan pada hari Sabtu paginya (kira-kira)
menyiapkan kembali pasukan gabungan Raden Mas Sahid dan Pangeran Mangkubumi.
Bila
Raden Mas Sahid tidak berdarah seni, tidak mungkin uyon-uyon lengkap diadakan. Kalau toh menggunakan gamelan
paling-paling gamelan pembakar semangat perang.
Kegiatan berkesenian di Pura Mangkunegaran ini
berlangsung terus di bawah Mangkunagoro II, Mangkunagoro III, dan pada masa
pemerintahan Mangkunagoro IV (1853-1881) adalah jaman keemasan Mangkunagaran di
bidang kesenian. Perlu diketahui bahwa masa kehidupan Mangkunagoro IV adalah
sejaman dengan kehidupan Paku Buwono IX dan pujangga agung Keraton Kasunanan
Surakarta R.Ng Ronggowarsito. Ke tiga tokoh budayawan tersebut sama-sama
menaruh minat terhadap sastra Jawa (Anjar Any, 1983:14).
Tidak
heran apabila ada pengaruh-mempengaruhi di antara karya cipta masing-masing.
Karena pergaulannya dengan sang pujangga, Mangkunagoro IV tumbuh menjadi raja pinandita yang memiliki keahlian dalam
bidang kepujanggaan. Dengan demikian tidak diragukan lagi betapa besar
kesenimanan yang mengeram dalam diri Mangkunagoro IV.
Mangkunagoro
IV melahirkan karya sastra yang tidak sedikit jumlahnya, antara lain: Serat Tripama, Manuhara, Pralambang Rara
Kenya, Pralambang Kenya Candala, Yogatama, Pariminta, Nayakawara, Rerepan
Prayasmara, Sendon Langenswara, dan yang paling terkenal adalah Wedatama. Karya
sastra Mangkunagoro IV tidak kurang dari 80 buah dan hampir keseluruhannya
(97%) berbentuk tembang (Serat Babad
Mangkunagoro VII, 1927: 4).
Pada
umumnya pengungkapan syair lagu meliputi: keadaan sehari-hari dalam masarakat
atau pemerintahan, puji-pujian, pelajaran moral, petuah-petuah bagi masyarakat
dari berbagai tingkat sosial, humor jenaka, pecandraan wanita,
pelukisan/pengungkapan keadaan alam, pengungkapan tumbuh-tumbuhan,pengungkapan
bunga-bunga, pengungkapan kecintaan Mangkunagoro IV terhadap alam yang berjiwa.
Mengenai pengungkapan terhadap alam yang berjiwa ini Soedarso
Sp. menjelaskan sebagai berikut: Alhasil, alam ini kadang-kadang dipandang
sebagai tema, kadang-kadang sebagai motif, dan kadang-kadang pula sebagai
sekedar bahan studi. Tetapi apapun sikap sang seniman terhadap alam tersebut,
ternyata alam telah banyak memberikan sumbangannya kepada lahirnya suatu karya.
Maka tidaklah mengherankan bahwa orang dulu pernah mengatakan: alam adalah guru
para seniman, “Natura artis magistra”
(Soedarso Sp., 1990: 33).
II. Menurut gotek di
kalangan pengrawit sepuh, sebelum munculnya gerongan,
vokal dalam sajian karawitan hanya mengenal bentuk sindenan. Pertama: Sindenan
secara bersama (koor), baik yang dilakukan oleh sekelompok pesinden wanita atau
sekelompok pesinden pria atau juga sekelompok pesinden wanita bersama
sekelompok pesinden pria, seperti lazim dilakukan dalam sindenan Bedaya atau
Srimpi. Ke dua: Sindenan secara tunggal, seperti yang dilakukan oleh swarawati
atau waranggana (R. Supanggah, editor, 1988: 4).
Pada masa pemerintahan Paku Buwana IX (1861-1893), secara
periodik Paku Buwana IX dan Mangkunagoro IV selalu mengadakan sarasehan
mengenai beberapa hal di Pasranggrahan Langenharjo (sebelah selatan lokasi Solo
Baru). Dalam sarasehan itu juga dihidangkan sajian seni pertunjukan diantaranya
klenengan. Pada sebuah sarasehan,
Paku Buwana IX menyajikan klenengan
dengan menghidangkan Ladrang Pangkur laras slendro patet sanga dengan disertai
sebuah kejutan, yaitu menampilkan suara koor pria berirama metris seiring
melodi gending yang sekarang lazim disebut gerong
(R. Supanggah, editor, 1988: 4).
Munculnya lagu gerongan
merupakan kejutan baru pada masa itu. Kejutan ini menggeliik bakat seni
Mangkunagoro IV yang menimbulkan inspirasi terhadap dirinya, maka lahirlah
gending-gending yasan Mangkunagoro IV yang mengetangahkan vokal sebagai tulang
punggungnya atau ciri khasnya (Sri Hastanto, 1992: 4). Gending-gending yang
sangat terkenal buah karya Mangkunagoro IV ini kebanyakan berbentuk ketawang
terdiri dari 9 paket gending.
Keterangan dari 9 paket gending tersebut terdapat dalam Serat Sendon Langenswara yang berisi
karya sastra Mangkunagoro IV kaitannya dengan karawitan. Dari 9 paket gending
ini, setiap paket terdiri atas 1 bait tembang sebagai bawa ditambah beberapa bait tembang khusus sebagai gerong dari masing-masing paket seperti
disebutkan di bawah ini:
1)
Bawa sekar
ageng Citramengeng, lampah 12, pedhotan 6-6, dhawah
Ketawang
Langengita
slendro sanga. Gerongan Ketawang
Langengita terdiri atas 20 bait tembang, setiap bait melukiskan/mengungkapkan
salah satu jenis bunga dan kegunaan bunga itu. Beberapa jenis bunga tersebut
diantaranya bunga delima, taluki, dan melati.
2)
Bawa sekar
ageng Kumudasmara, lampah 15, pedhotan 7-8, dhawah
Ketawang Walagita/Swalagita pelog nem. Gerongan
Ketawang Walagita terdiri atas 19 bait tembang, setiap bait menggambarkanwatak
dan sikap seseorang, dilambangkan sebuah bunga seperti: bunga adas, bunga
nangka, dan bunga cengkih.
3)
Bawa sekar ageng Pamularsih, lampah 15, pedhotan 7-8, dhawah Ketawang Rajaswala slendro sanga.
Gerongan Ketawang Rajaswala terdiri
atas 4 bait tembang, melukiskan tentang isi alam semesta yang bermanfaat bagi
manusia, seperti: matahari, bulan, dan bintang.
4)
Bawa sekar
ageng Kusumastuti, lampah 13, pedhotan 7-6, dhawah
Ketawang Sitamardawa pelog barang. Gerongan
Ketawang Sitamardawa terdiri atas 8 bait tembang, berisi petunjuk bagi
seseorang yang akan bekerja dalam bidang pemerintahan.
5)
Bawa sekar
ageng Mintajiwa, lampah 16, pedhotan 8-8, dhawah Ketawang Puspawarna slendro manyura.
Gerongan Ketawang Puspawarna terdiri
atas 9 bait tembang, setiap bait menggambarkan perilaku seorang wanita yang
dilambangkan sebuah bunga, diantaranya bunga kencur, durian, belimbing, pisang.
6)
Bawa sekar
tengahan Palugon, dhawah Ketawang
Puspanjala pelog nem. Gerongan
Ketawang Puspanjala terdiri atas 13 bait tembang, tiap-tiap bait melukiskan
tindakan jelek seseorang, tindakan itu dilambangkan beberapa bunga, pupus, dan ebung (tunas).
7)
Bawa sekar
tengahan Pranasmara, dhawah Ketawang
Tarupala slendro manyura. Gerongan
Ketawang Tarupala terdiri atas 5 bait tembang, 3 bait pertama menceritakan
entang mangga, jeruk, dan jambu. Disusul 2 bait berikutnya yang menggambarkan
kacang dan kara(jenis tumbuh-tumbuhan merambat).
8)
Bawa sekar
tengahan Pangajabsih, dhawah Ketawang
Puspagiwang pelog barang. Gerongan
Ketawang Puspagiwang terdiri atas 7 bait tembang, mengisahkan pertengkaran
seorang pria dan seornag wanita.
9)
Bawa sekar
macapat Kinanthi cengkok Sekar
Gadung, dhawah Ketawang Lebdasari
slendro manyura. Gerongan Ketawang
Lebdasari terdiri atas 7 bait tembang, melukiskan beberapa jenis padi, pisang,
ubi, dan bambu (T. Slamet Suparno, 1990: 75-77).
Karena titik berat atau jati diri gending itu terletak
dibagian vokalnya, maka untuk bagian gending yang lain hanya bersifat sebagai
jembatan pendukung untuk menuju ke bagian gending pokok. Oleh sebab itu melodi
bagian gending yang bukan pokok ini disusun hanya untuk menuju ke bagian
gending pokok, yang kadang-kadang untuk melodi jembatan satu gending sama
dengan melodi jembatan gending yang lain.
Berikut balungan
Ketawang Puapawarna slendro manyura yang merupakan salah satu dari 9 paket
gending karya Mangkunagoro IV.
A.
6 . 1 2
3 . 2 .
1
. 3 . 2 . 1 . (6)
B.
.
2 . 3
. 2 . 1 . 3 . 2 . 1 . (6)
C.
. . 6
. 2 3 2
1 3 2 6
5 1 6 5 (3)
.
. 32 5 3 2 1
. 3 . 2
. 1 . (6)
.
2 . 3
. 2 . 1
. 3 . 2
. 1 . (6)
a)
Buka, merupakan bagian gending untuk memulai
sajian.
b)
Ompak,
adalah bagian gending yang belum digerong
dan merupakan jembatan pendukung untuk menuju ke bagian gending pokok.
c)
Ngelik,
ialah bagian gending yang digerong
dan merupakan gending pokok (sebagai ciri khas gending/jati diri gending).
Berbeda dengan gending-gending Mangkunagoro IV, bagian ngelik dari gending-gending pada umumnya
bukan merupakan bagian pokok, meskipun ngelik
itu tidak disajikan (mungkin karena waktu atau memang disengaja), masyarakat
karawitan masih mengenal gending itu.
Ciri-ciri menonjol dari 9 paket gending karya Mangkunagoro IV
sebagai berikut:
A. Vokal
sangat dominan.
B. Balungan gending berbentuk
Ketawang.
C. Terdapat
cakepan (teks) khusus pada setiap
gending.
D.
Setiap gending mempunyai bawa yang cakepannya
berhubungan dengan cakepan gerongan
gendingnya.
E. Isi cakepan menyangkut tentang pencandraan
bunga, pencandraan wanita, alam semesta, serta mengandung pelajaran moral.
F. Penuh
dengan basa pinathok terutama
parikan, purwakanti, dan wangsalan
yang terselip dalam teks garapan vokalnya.
G. Fungsi
melodi di luar bagian melodi yang bervokal hanya sebagai jembatan pendukung
untuk menuju ke gending pokok.
Kalau kita amati dengan seksama gending-gending karya Mangkunagoro
IV ini, pada lagu vokanya juga mempunyai ciri komposisi ritme khusus yang
berbeda dengan gerongan gending non
Mangkunegaran.
Dari uraian ini dapat diketahui bahwa vokal merupakan media
ekspresi Mangkunagoro IV dalam menterjemahkan sebuah gending. Dengan
disajikannya vokal, sebuah gending akan mudah untuk diterima kesan dan pesannya. Hal ini disebabkan karena vokal
mempunyai unsur musikal (melodi) dan bahasa, secara teknis vokal sangat mudah
untuk disajikan dalam berbagai bentuk melodi (Marsudi, 1988: 112).
III. Ekspresi estetik musikal pada sebuah karya musik yang dalam hal
ini karya karawitan terletak pada wajah unsur-unsur musikalnya,diantaranya
melodi, tempo, ritme, volume, dan warna suara. Di dalam karawitan tradisi
unsur-unsur tempo dan volume, serta warna suara telah baku menurut kebiasaan
budaya karawitan tradisi. Dengan demikian tidak dapat digunakan sebagai sarana
analisis untuk mengidentifikasi ciri karawitan Mangkunagoro IV. Jadi tinggal
dua unsur lagi yang dapat digunakannya, yaitu melodi dan ritme.
Melodi di dalam musik, demikian juga di dalam karawitan,
bersama ritme membentuk kalimat lagu yang selalu terdiri dari dua bagian yaitu padang (Fore phrase) dan ulihan (After phrase).
Dalam analisis untuk mengidentifikasi ciri karawitan
Mangkunagoro IV dua unsur musikal ini akan dibandingkan dengan sifat unsur yang
terdapat di dalam karawitan lainnya (karawitan selain karya Mangkunagoro IV).
Karena kekuatan atau tumpuan sifat gending Mangkunagoro IV terletak pada lagu
vokalnya (gerong), maka apa yang
tersaji berikut ini juga diambil dari melodi gerongan.
Melodi yang dibenuk dengan susunan nada mempunyai tiga arah
yaitu: ascending (arah naik), descending (arah turun), dan reciting (arah datar).
Gerongan pada
umumnya di bagian padang, setiap
kalimat lagu membentuk pola tertentu. Dengan mengamati motif gerongan-gerongan tersebut ditemukan
tiga pola ritme dasar yang sangat umum yaitu: pola ritme untuk padang arah naik (asc), pola ritme untuk padang
arah turun (des), dan pola ritme
untuk padang arah datar (rec). Sedangkan pola ritme untuk ulihan ada beberapa macam variasi,
tetapi walaupun demikian masih mempunyai wajah yang sama. Sedangkan rasa renyah dan luruh dibentuk dari sedikit perbedaan pola ritme maupun cara
memodifikasikan pola-pola tersebut.
Sejak diperkenalkannya gending-gending karya Mangkunagoro IV
dalam berbagai keperluan, maka segera bermunculan gending-gending yang
digerongi. Gending-gending itu sebagian besar berasal dari sekar macapat, dan
ada beberapa sekar tengahan. Gending-gending sekar itu semula untuk mengiringi
Langendriyan. Naskah pertama mengenai Langendriyan ini berjudul Langendriya
Mandraswara disusun oleh Tondokusuma/salah seorang menantu Mangkunagoro IV (T.
Slamet Suparno, 1990: 88).
Karena jenis gending ini menggunakan gerongan, maka bila kita konsisten dengan gotek para empu karawitan, tentunya jenis gending ini muncul
setelah peristiwa klenengan di
Pasranggrahan Langenharjo dengan tampilnya Ladrang Pangkur laras slendro patet
sanga.
Bukannya tidak mungkin bahwa gending-gending seperti: Pangkur
Dhudhakasmaran, Sinom Parijatha, Kinanthi Pawukir, Kinanthi Sandung dan lain
sebagainya muncul karena pengaruh gending Mangkunagoro IV. Karena
gending-gending sekar ini banyak yang tersirat dengan gending-gending karya
Mangkunagoro IV, misalnya:
1.
Angkatan pertama tidak menggunakan ritme gerongan umum.
2.
Mempunyai ritme dan lagu khusus yang mendekati
lagu sekar macapat atau sekar tengahan sebelum menjadi gerongan.
Hal lain yang pantas dicatat bahwa teks tembang karya sastra
Mangkunagoro IV begitu runtut penyajiannya serta tinggi nilai sastranya,
sehingga boleh dikatakan mendominasi cakepan
gerongan gending yang ada. Misalnya: Cakepan
Mideringrat dan cakepan Wastra
ngangrang berasal dari serat
Manuhara: Ngelmu iku, Mingkar-mingkur,
dan Nuladha laku utama berasal dari serat Wedhatama, Yogyanira berasal dari serat Tripama.
IV. Kesimpulan
Masa pemerintahan Mangkunagoro IV (1853-1881) adalah jaman
keemasan Pura Mangkunegaran di bidang kesenian. Perhatian mMangkunagoro IV
terhadap kehidupan karawitan tercermin dalam karya sastranya berjudul “Sendon Langenswara” yang memuat 9 paket
gending dengan mengetengahkan vokal sebagai ciri khasnya.
Gerongan
gending-gending Mangkunagoro IV mempunyai alur melodi khusus, terutama pada
awal kalimat lagu padang, sedangkan
alur melodi untuk ulihan ada beberapa
macam variasi, tetapi masih mempunyai warna dan rasa yang sama dengan alur
melodi gerongan gending umum.
Tersebarnya gending-gending Mangkunagoro IV di tengah
masyarakat karawitan merupakan angin segar bagi para seniman untuk menciptakan
gending-gending baru yang menggunakan kekuatan pokok pada lagu vokal. Maka
lahirlah gending-gending sekar yang mempunyai beberapa ciri seperti
gending-gending Mangkunegaran.
Kiranya jelas bila dibuat peta, dimana letak pengaruh gaya
Mangkunagoro IV dalam globe karawitan
Jawa kita ini. Jadi sebutan apa yang pantas atas kepahlawanan Mangkunagoro IV
dalam dunia karawitan, saya serahkan kepada anda-anda sekalian.
(Posting by karnadi)
Sumber:
Haryono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar