Sabtu, 04 Januari 2014


KARAWITAN VOKAL MANGKUNAGORO IV


I.        Seperti kaum bangsawan pada umumnya kerabat Mangkunegaranpun dialiri darah seni terutama seni yang tumbuh dalam budayanya. Dalam hal kerabat Mangkunegaran ini adalah budaya Jawa. Sejak Raden Mas Sahid (Mangkunagoro yang pertama) aliran darah seni ini sudah jelas terlihat. Hal ini terbukti dalam tindakan Raden Mas Sahid yang walaupun dalam situasi peperangan selalu memperhatikan kesenian. Bahkan kesenian dijadikan sarana terapi para tentaranya agar pulih kembali kekuatannya setelah melakukan sebuah penyarbuan.
Pasanggrahane kang putra,
Anguyu-uyu pribadi,
Salendro denira bekta,
Ngenira damel pribadi,
Wastanan Udan Riris,
Mung sepeken laminipun,
Nguyu-uyu gamelan,
Wau Pangran Mangkubumi,
Sabtu enjing pepakan kang wadya bala. (Serat Babad Mangkunagoro I: 134).
        Tembang yang tercantum dalam pupuh Sinom bait ke 17 Babad Mangkunagoro I ini menggambarkan betapa Raden Mas Sahid masih sempat juga klenengan (uyon-uyon) dengan menabuh Gamelan Kiai Udan Riris di pasanggrahannya dalam masa peperangan melawan Kompeni Belanda. Waktu itu sang paman Pangeran Mangkubumi datang dan pada hari Sabtu paginya (kira-kira) menyiapkan kembali pasukan gabungan Raden Mas Sahid dan Pangeran Mangkubumi.
        Bila Raden Mas Sahid tidak berdarah seni, tidak mungkin uyon-uyon lengkap diadakan. Kalau toh menggunakan gamelan paling-paling gamelan pembakar semangat perang.
         Kegiatan berkesenian di Pura Mangkunegaran ini berlangsung terus di bawah Mangkunagoro II, Mangkunagoro III, dan pada masa pemerintahan Mangkunagoro IV (1853-1881) adalah jaman keemasan Mangkunagaran di bidang kesenian. Perlu diketahui bahwa masa kehidupan Mangkunagoro IV adalah sejaman dengan kehidupan Paku Buwono IX dan pujangga agung Keraton Kasunanan Surakarta R.Ng Ronggowarsito. Ke tiga tokoh budayawan tersebut sama-sama menaruh minat terhadap sastra Jawa (Anjar Any, 1983:14).
        Tidak heran apabila ada pengaruh-mempengaruhi di antara karya cipta masing-masing. Karena pergaulannya dengan sang pujangga, Mangkunagoro IV tumbuh menjadi raja pinandita yang memiliki keahlian dalam bidang kepujanggaan. Dengan demikian tidak diragukan lagi betapa besar kesenimanan yang mengeram dalam diri Mangkunagoro IV.
        Mangkunagoro IV melahirkan karya sastra yang tidak sedikit jumlahnya, antara lain: Serat Tripama, Manuhara, Pralambang Rara Kenya, Pralambang Kenya Candala, Yogatama, Pariminta, Nayakawara, Rerepan Prayasmara, Sendon Langenswara, dan yang paling terkenal adalah Wedatama. Karya sastra Mangkunagoro IV tidak kurang dari 80 buah dan hampir keseluruhannya (97%) berbentuk tembang (Serat Babad Mangkunagoro VII, 1927: 4).
        Pada umumnya pengungkapan syair lagu meliputi: keadaan sehari-hari dalam masarakat atau pemerintahan, puji-pujian, pelajaran moral, petuah-petuah bagi masyarakat dari berbagai tingkat sosial, humor jenaka, pecandraan wanita, pelukisan/pengungkapan keadaan alam, pengungkapan tumbuh-tumbuhan,pengungkapan bunga-bunga, pengungkapan kecintaan Mangkunagoro IV terhadap alam yang berjiwa.
        Mengenai pengungkapan terhadap alam yang berjiwa ini Soedarso Sp. menjelaskan sebagai berikut: Alhasil, alam ini kadang-kadang dipandang sebagai tema, kadang-kadang sebagai motif, dan kadang-kadang pula sebagai sekedar bahan studi. Tetapi apapun sikap sang seniman terhadap alam tersebut, ternyata alam telah banyak memberikan sumbangannya kepada lahirnya suatu karya. Maka tidaklah mengherankan bahwa orang dulu pernah mengatakan: alam adalah guru para seniman, “Natura artis magistra” (Soedarso Sp., 1990: 33).

II.    Menurut gotek di kalangan pengrawit sepuh, sebelum munculnya gerongan, vokal dalam sajian karawitan hanya mengenal bentuk sindenan. Pertama: Sindenan secara bersama (koor), baik yang dilakukan oleh sekelompok pesinden wanita atau sekelompok pesinden pria atau juga sekelompok pesinden wanita bersama sekelompok pesinden pria, seperti lazim dilakukan dalam sindenan Bedaya atau Srimpi. Ke dua: Sindenan secara tunggal, seperti yang dilakukan oleh swarawati atau waranggana (R. Supanggah, editor, 1988: 4).
        Pada masa pemerintahan Paku Buwana IX (1861-1893), secara periodik Paku Buwana IX dan Mangkunagoro IV selalu mengadakan sarasehan mengenai beberapa hal di Pasranggrahan Langenharjo (sebelah selatan lokasi Solo Baru). Dalam sarasehan itu juga dihidangkan sajian seni pertunjukan diantaranya klenengan. Pada sebuah sarasehan, Paku Buwana IX menyajikan klenengan dengan menghidangkan Ladrang Pangkur laras slendro patet sanga dengan disertai sebuah kejutan, yaitu menampilkan suara koor pria berirama metris seiring melodi gending yang sekarang lazim disebut gerong (R. Supanggah, editor, 1988: 4).
        Munculnya lagu gerongan merupakan kejutan baru pada masa itu. Kejutan ini menggeliik bakat seni Mangkunagoro IV yang menimbulkan inspirasi terhadap dirinya, maka lahirlah gending-gending yasan Mangkunagoro IV yang mengetangahkan vokal sebagai tulang punggungnya atau ciri khasnya (Sri Hastanto, 1992: 4). Gending-gending yang sangat terkenal buah karya Mangkunagoro IV ini kebanyakan berbentuk ketawang terdiri dari 9 paket gending.
        Keterangan dari 9 paket gending tersebut terdapat dalam Serat Sendon Langenswara yang berisi karya sastra Mangkunagoro IV kaitannya dengan karawitan. Dari 9 paket gending ini, setiap paket terdiri atas 1 bait tembang sebagai bawa ditambah beberapa bait tembang khusus sebagai gerong dari masing-masing paket seperti disebutkan di bawah ini:
1)     Bawa sekar ageng Citramengeng, lampah 12, pedhotan 6-6, dhawah Ketawang
Langengita slendro sanga. Gerongan Ketawang Langengita terdiri atas 20 bait tembang, setiap bait melukiskan/mengungkapkan salah satu jenis bunga dan kegunaan bunga itu. Beberapa jenis bunga tersebut diantaranya bunga delima, taluki, dan melati.
2)     Bawa sekar ageng Kumudasmara, lampah 15, pedhotan 7-8, dhawah Ketawang Walagita/Swalagita pelog nem. Gerongan Ketawang Walagita terdiri atas 19 bait tembang, setiap bait menggambarkanwatak dan sikap seseorang, dilambangkan sebuah bunga seperti: bunga adas, bunga nangka, dan bunga cengkih.
3)     Bawa sekar ageng Pamularsih, lampah 15, pedhotan 7-8, dhawah Ketawang Rajaswala slendro sanga. Gerongan Ketawang Rajaswala terdiri atas 4 bait tembang, melukiskan tentang isi alam semesta yang bermanfaat bagi manusia, seperti: matahari, bulan, dan bintang.
4)     Bawa sekar ageng Kusumastuti, lampah 13, pedhotan 7-6, dhawah Ketawang Sitamardawa pelog barang. Gerongan Ketawang Sitamardawa terdiri atas 8 bait tembang, berisi petunjuk bagi seseorang yang akan bekerja dalam bidang pemerintahan.
5)     Bawa sekar ageng Mintajiwa, lampah 16, pedhotan 8-8, dhawah Ketawang Puspawarna slendro manyura. Gerongan Ketawang Puspawarna terdiri atas 9 bait tembang, setiap bait menggambarkan perilaku seorang wanita yang dilambangkan sebuah bunga, diantaranya bunga kencur, durian, belimbing, pisang.
6)     Bawa sekar tengahan Palugon, dhawah Ketawang Puspanjala pelog nem. Gerongan Ketawang Puspanjala terdiri atas 13 bait tembang, tiap-tiap bait melukiskan tindakan jelek seseorang, tindakan itu dilambangkan beberapa bunga, pupus, dan ebung (tunas).
7)     Bawa sekar tengahan Pranasmara, dhawah Ketawang Tarupala slendro manyura. Gerongan Ketawang Tarupala terdiri atas 5 bait tembang, 3 bait pertama menceritakan entang mangga, jeruk, dan jambu. Disusul 2 bait berikutnya yang menggambarkan kacang dan kara(jenis tumbuh-tumbuhan merambat).
8)     Bawa sekar tengahan Pangajabsih, dhawah Ketawang Puspagiwang pelog barang. Gerongan Ketawang Puspagiwang terdiri atas 7 bait tembang, mengisahkan pertengkaran seorang pria dan seornag wanita.
9)     Bawa sekar macapat Kinanthi cengkok Sekar Gadung, dhawah Ketawang Lebdasari slendro manyura. Gerongan Ketawang Lebdasari terdiri atas 7 bait tembang, melukiskan beberapa jenis padi, pisang, ubi, dan bambu (T. Slamet Suparno, 1990: 75-77).
        Karena titik berat atau jati diri gending itu terletak dibagian vokalnya, maka untuk bagian gending yang lain hanya bersifat sebagai jembatan pendukung untuk menuju ke bagian gending pokok. Oleh sebab itu melodi bagian gending yang bukan pokok ini disusun hanya untuk menuju ke bagian gending pokok, yang kadang-kadang untuk melodi jembatan satu gending sama dengan melodi jembatan gending yang lain.
        Berikut balungan Ketawang Puapawarna slendro manyura yang merupakan salah satu dari 9 paket gending karya Mangkunagoro IV.
A.          6      . 1 2 3     .  2 .  1     .  3 .  2     .  1  . (6)
B.                  . 2  . 3     .  2 .  1     .  3 .  2      . 1  .  (6)
C.                   .  .  6 .     2 3 2 1     3 2 6 5     1 6 5 (3)
                .  .  32     5 3 2 1     .  3  . 2      .  1 . (6)
                   . 2  . 3     .  2 .  1     .  3 .  2     .  1  . (6)
a)   Buka, merupakan bagian gending untuk memulai sajian.
b)   Ompak, adalah bagian gending yang belum digerong dan merupakan jembatan pendukung untuk menuju ke bagian gending pokok.
c)    Ngelik, ialah bagian gending yang digerong dan merupakan gending pokok (sebagai ciri khas gending/jati diri gending).
        Berbeda dengan gending-gending Mangkunagoro IV, bagian ngelik dari gending-gending pada umumnya bukan merupakan bagian pokok, meskipun ngelik itu tidak disajikan (mungkin karena waktu atau memang disengaja), masyarakat karawitan masih mengenal gending itu.
        Ciri-ciri menonjol dari 9 paket gending karya Mangkunagoro IV sebagai berikut:
A. Vokal sangat dominan.
B. Balungan gending berbentuk Ketawang.
C.  Terdapat cakepan (teks) khusus pada setiap gending.
D.                        Setiap gending mempunyai bawa yang cakepannya berhubungan dengan cakepan gerongan gendingnya.
E. Isi cakepan menyangkut tentang pencandraan bunga, pencandraan wanita, alam semesta, serta mengandung pelajaran moral.
F. Penuh dengan basa pinathok terutama parikan, purwakanti, dan wangsalan yang terselip dalam teks garapan vokalnya.
G. Fungsi melodi di luar bagian melodi yang bervokal hanya sebagai jembatan pendukung untuk menuju ke gending pokok.
        Kalau kita amati dengan seksama gending-gending karya Mangkunagoro IV ini, pada lagu vokanya juga mempunyai ciri komposisi ritme khusus yang berbeda dengan gerongan gending non Mangkunegaran.
        Dari uraian ini dapat diketahui bahwa vokal merupakan media ekspresi Mangkunagoro IV dalam menterjemahkan sebuah gending. Dengan disajikannya vokal, sebuah gending akan mudah untuk diterima kesan  dan pesannya. Hal ini disebabkan karena vokal mempunyai unsur musikal (melodi) dan bahasa, secara teknis vokal sangat mudah untuk disajikan dalam berbagai bentuk melodi (Marsudi, 1988: 112).

III.   Ekspresi estetik musikal pada sebuah karya musik yang dalam hal ini karya karawitan terletak pada wajah unsur-unsur musikalnya,diantaranya melodi, tempo, ritme, volume, dan warna suara. Di dalam karawitan tradisi unsur-unsur tempo dan volume, serta warna suara telah baku menurut kebiasaan budaya karawitan tradisi. Dengan demikian tidak dapat digunakan sebagai sarana analisis untuk mengidentifikasi ciri karawitan Mangkunagoro IV. Jadi tinggal dua unsur lagi yang dapat digunakannya, yaitu melodi dan ritme.
        Melodi di dalam musik, demikian juga di dalam karawitan, bersama ritme membentuk kalimat lagu yang selalu terdiri dari dua bagian yaitu padang (Fore phrase) dan ulihan (After phrase).
        Dalam analisis untuk mengidentifikasi ciri karawitan Mangkunagoro IV dua unsur musikal ini akan dibandingkan dengan sifat unsur yang terdapat di dalam karawitan lainnya (karawitan selain karya Mangkunagoro IV). Karena kekuatan atau tumpuan sifat gending Mangkunagoro IV terletak pada lagu vokalnya (gerong), maka apa yang tersaji berikut ini juga diambil dari melodi gerongan.
        Melodi yang dibenuk dengan susunan nada mempunyai tiga arah yaitu: ascending (arah naik), descending (arah turun), dan reciting (arah datar).
        Gerongan pada umumnya di bagian padang, setiap kalimat lagu membentuk pola tertentu. Dengan mengamati motif gerongan-gerongan tersebut ditemukan tiga pola ritme dasar yang sangat umum yaitu: pola ritme untuk padang arah naik (asc), pola ritme untuk padang arah turun (des), dan pola ritme untuk padang arah datar (rec). Sedangkan pola ritme untuk ulihan ada beberapa macam variasi, tetapi walaupun demikian masih mempunyai wajah yang sama. Sedangkan rasa renyah dan luruh dibentuk dari sedikit perbedaan pola ritme maupun cara memodifikasikan pola-pola tersebut.
        Sejak diperkenalkannya gending-gending karya Mangkunagoro IV dalam berbagai keperluan, maka segera bermunculan gending-gending yang digerongi. Gending-gending itu sebagian besar berasal dari sekar macapat, dan ada beberapa sekar tengahan. Gending-gending sekar itu semula untuk mengiringi Langendriyan. Naskah pertama mengenai Langendriyan ini berjudul Langendriya Mandraswara disusun oleh Tondokusuma/salah seorang menantu Mangkunagoro IV (T. Slamet Suparno, 1990: 88).
        Karena jenis gending ini menggunakan gerongan, maka bila kita konsisten dengan gotek para empu karawitan, tentunya jenis gending ini muncul setelah peristiwa klenengan di Pasranggrahan Langenharjo dengan tampilnya Ladrang Pangkur laras slendro patet sanga.
        Bukannya tidak mungkin bahwa gending-gending seperti: Pangkur Dhudhakasmaran, Sinom Parijatha, Kinanthi Pawukir, Kinanthi Sandung dan lain sebagainya muncul karena pengaruh gending Mangkunagoro IV. Karena gending-gending sekar ini banyak yang tersirat dengan gending-gending karya Mangkunagoro IV, misalnya:
1.   Angkatan pertama tidak menggunakan ritme gerongan umum.
2.   Mempunyai ritme dan lagu khusus yang mendekati lagu sekar macapat atau sekar tengahan sebelum menjadi gerongan.
        Hal lain yang pantas dicatat bahwa teks tembang karya sastra Mangkunagoro IV begitu runtut penyajiannya serta tinggi nilai sastranya, sehingga boleh dikatakan mendominasi cakepan gerongan gending yang ada. Misalnya: Cakepan Mideringrat dan cakepan Wastra ngangrang berasal dari serat Manuhara: Ngelmu iku, Mingkar-mingkur, dan Nuladha laku utama berasal dari serat Wedhatama, Yogyanira berasal dari serat Tripama.

IV. Kesimpulan
        Masa pemerintahan Mangkunagoro IV (1853-1881) adalah jaman keemasan Pura Mangkunegaran di bidang kesenian. Perhatian mMangkunagoro IV terhadap kehidupan karawitan tercermin dalam karya sastranya berjudul  “Sendon Langenswara” yang memuat 9 paket gending dengan mengetengahkan vokal sebagai ciri khasnya.
        Gerongan gending-gending Mangkunagoro IV mempunyai alur melodi khusus, terutama pada awal kalimat lagu padang, sedangkan alur melodi untuk ulihan ada beberapa macam variasi, tetapi masih mempunyai warna dan rasa yang sama dengan alur melodi gerongan gending umum.
        Tersebarnya gending-gending Mangkunagoro IV di tengah masyarakat karawitan merupakan angin segar bagi para seniman untuk menciptakan gending-gending baru yang menggunakan kekuatan pokok pada lagu vokal. Maka lahirlah gending-gending sekar yang mempunyai beberapa ciri seperti gending-gending Mangkunegaran.
        Kiranya jelas bila dibuat peta, dimana letak pengaruh gaya Mangkunagoro IV dalam globe karawitan Jawa kita ini. Jadi sebutan apa yang pantas atas kepahlawanan Mangkunagoro IV dalam dunia karawitan, saya serahkan kepada anda-anda sekalian.
 (Posting  by  karnadi)
 
Sumber: Haryono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar